KISAH SANG MENTOR (bagian I..)

Daftar Isi: (toc)

KISAH SANG MENTOR (Bagian I..)

Pada suatu siang hari yang teduh, sekitar jam 11, sebuah mobil mewah bermerek BMW jenis 720i warna cerah, meluncur perlahan memasuki kampung. Mobil yang masih baru dan mulus itu tampak kontras dengan suasana sekitar yang memantulkan citra pedalaman yang sederhana. Pengemudinya seorang pria ganteng berusia 40-an tahun, kelihatan mengendarai kendaraannya dengan santai sambil sebentar-sebentar menengok ke kiri dan ke kanan, seakan takjub dengan pemandangan yang baru dilihatnya.

“Hm, kampungku ini sudah berubah, banyak kemajuan. Rumah-rumah penduduk sekarang bagus-bagus dan rapi. Jalanannya beraspal dan mulus. Penduduknya makin ramai dan banyak kegiatan bisnis. Walau begitu, suasananya tetap asri, damai dan tenteram sebagaimana umumnya sebuah kampung di kaki pegunungan..” ia bergumam sendirian. “Ah..tak terasa sudah 20 tahun berlalu..”, dan ia menghela nafas panjang.

Setelah berkendara beberapa menit dari mulut kampung, BMW berhenti di depan sebuah rumah yang di bagian samping-depannya difungsikan sebagai warung kelontong. Pria itu tidak langsung turun dari mobilnya, melainkan berpaling memandang ke arah warung tersebut. Suasana sepi-sepi saja, hanya terlihat seorang remaja putri sedang membeli sesuatu, dilayani oleh seorang ibu-ibu tua.

Pikirannya pun menerawang. “Inil rumah Pak Soma. Pemilik warung yang sederhana, namun siapa sangka nasihatnya yang bijak telah membuat aku menjadi pengusaha sukses dan kaya-raya seperti sekarang. Sebagai balas jasa, aku telah berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan memperbaiki rumahnya ini serta membangunnya menjadi sebuah rumah besar yang cukup mewah dan lengkap. Dan warungnya akan aku sulap menjadi sebuah mini market agar penghasilan Pak Soma dan isteri dapat meningkat..”. Lalu ingatannya berkilas balik jauh ke sebuah peristiwa yang terjadi 21 tahun silam. Ia ingat benar betapa waktu itu ia baru berusia 19 tahun, bertekad mengadu nasib pergi ke kota. Atas anjuran kedua orang tuanya, ia pamit kepada Pak Soma, seorang tetangga, pada malam sebelum keberangkatannya. Di situlah, entah bagaimana, seorang bapak setengah baya yang sederhana, memberikan berbagai petuah kepadanya tentang kiat-kiat berusaha. Ia sendiri tidak pernah mengerti, bagaimana orang kampung pemilik warung seperti Pak Soma bisa memberikan nasihat-nasihat yang begitu canggih, seakan ialah seorang pengusaha besar di negeri ini. Namun demikian, itulah satu-satunya pegangan yang ia miliki untuk berjuang di perantauan. Ia pun berangkat dengan percaya diri keesokan paginya..

“Ah, tentu beliau sudah tua sekali sekarang..”, pikirnya. Ketika ia melihat bahwa remaja putri yang berbelanja sudah selesai, ia buru-buru turun dari mobil. Ia mendekat seraya memandang pada ibu-ibu tua penjaga warung, dan segera tahu siapa yang dipandangnya. “Selamat siang, Bu Soma..”, sapanya sopan. Perempuan itu menoleh dan memandang penuh selidik. “Ya..? Siapa..ya..?”

“Saya Bu,.. Darmawan, anak Pak Rusli, tetangga Ibu.. Ibu lupa?”

“Darmawan?..Eh.. Wawan..? Wawan ya?”

“Iya benar Bu Soma. Ini Wawan. Bagaimana kabarnya Bu? Wah, ibu kelihatan sehat sekali..”

Seketika wajah tegang Ibu Soma mengendur. “Oh.. benar kamu Wan? Baru datang..?” Ia langsung menghampiri dengan ramai senyuman, menarik tangan pria ganteng itu sambil berkata: “Ayuk masuk.. wah kamu sudah dewasa sekarang ya! Necis dan ganteng lagi… Syukur.. syukur alhamdulillah..”

“Mari..mari silahkan duduk, Nak. Jangan malu-malu. Rumah ini masih seperti dulu, jadi anggap seperti rumahmu juga..”, si Ibu berusaha mencairkan kekakuan.

Pria yang dipanggil Wawan itu masuk ke ruang tamu lalu duduk di sebuah kursi. Percakapan basa-basi berlangsung beberapa saat, sampai akhirnya sang pengusaha sukses bertanya: “Pak Soma ada, Bu? Saya kangen banget sama beliau..” Bu Soma menjawab:” Oh, Bapak masih di masjid, ada urusan di sana. Mungkin 1 jam lagi baru kembali, sehabis sholat dzuhur..”

“Oh ya? Kalau begitu, saya tinggal dulu ya Bu? Mau lihat rumah ibu saya di kampung ini, sudah 20 tahun gak pernah saya lihat lagi rumah itu. Entah seperti apa sekarang..? Nanti jam 2 saya balik lagi ke sini…” Bu Soma tertegun sejenak, tapi segera berkata: “ Iya baik Wan. Nanti saya kasih tahu Bapak, biar dia tunggu di sini sampai jam 2..”

Sebelum pergi, Darmawan bercerita pada Bu Soma bahwa ia selama ini merasa sangat berhutang budi pada Pak Soma, karena kesuksesannya sekarang adalah berkat nasihat dan petuah yang diberikan secara serius oleh suami perempuan itu. Dan ia langsung mengutarakan niatnya untuk membalas budi dengan jalan merenovasi total rumah serta warung milik pasangan suami isteri tersebut. Ibu Soma tersenyum lebar mendengar hajat “si Wawan”.

Rumah yang dimaksud Wawan sebagai “rumah ibunya” itu hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah Pak Soma. Dalam sekejap ia sudah sampai di sana. Kedua orang tuanya tidak lagi tinggal di situ, karena sudah sejak lama ia ajak ke kota, pindah ke sebuah rumah yang khusus ia bangun. Rumah itu ditunggui oleh adik sepupunya, yang kebetulan sedang duduk-duduk di ruang depan sambil ngobrol dengan beberapa orang tetangga dekat. Bukan main kagetnya mereka ketika mengetahui anggota keluarga yang sudah 20 tahun lebih menghilang, kini muncul begitu saja. Dengan gembira mereka “berkangen-kangenan” sejenak, saling peluk, bersalaman sambil saling tanya, setelah itu Wawan pergi ke belakang membersihkan diri dan segera beristirahat.

Sambil selonjor kaki di sebuah kursi malas, Wawan menerawang kembali. “Semua keluarga dan famili di kampung ini gembira dan bangga bahwasanya aku telah menjadi pengusaha yang sangat sukses. Tapi mereka tidak tahu bahwa aku sendiri masih merasa ada ganjalan di hati. Sesukses-suksesnya aku dan sebesar-besarnya perusahaanku, masih belum apa-apa dibanding dengan perusahaan saingan yang satu itu..” Wawan terbayang akan sebuah nama – nama perusahaan saingannya – PT Harimau Sakti, yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Sebab, setiap bersaing dengan perusahaan ini, pihaknya selalu kalah. Di bidang bisnis ritel, perusahaannya kalah dalam merebut pangsa pasar. Di segmen korporasi, ia juga kalah. Terakhir, dari 8 kali tender pemerintah, ia hanya berhasil merebut 1 kali kemenangan. Selebihnya, 7 kali tender dimenangkan oleh PT Harimau Sakti. Hal inilah yang selama ini dirasakan bagai duri dalam daging oleh Wawan. Berbagai jurus bisnis dan strategi telah ia jalankan, tapi tidak merubah peta percaturan bisnisnya, ia tetap kalah. “Apa yang salah dengan ku?”, demikian pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam otaknya. Lelah berpikir, tanpa disadari akhirnya ia tertidur di kursi malas.

Tepat jam 2 siang, Wawan terkejut dan bangun dari tidur. Melihat jam tangan, ia bergumam sendiri: “ Wah, sudah waktunya. Pak Soma pasti sudah menunggu..” Dengan sigap ia sambar kunci mobil dari atas meja, langsung berlari ke luar menuju mobilnya yang diparkir di halaman. Tanpa membuang waktu lagi, ia masuk ke dalam kabin kemudi, menghidupkan mesin dan seketika itu juga meluncur menuju rumah Pak Soma. “Aku tak ingin pertemuan ini meleset dan mengecewakan bintang penolongku..”, katanya dalam hati.


(Bersambung ke bagian II…)
Find Out
Related Post

Ikuti Gacerindo.com pada Aplikasi GOOGLE NEWS : FOLLOW (Dapatkan Berita Terupdate tentang Dunia Pendidikan dan Hiburan). Klik tanda  (bintang) pada aplikasi GOOGLE NEWS.

Top Post Ad

Below Post Ad