Daftar Isi: (toc)
HARI-HARI OMONG KOSONG..
Dalam acara ramah tamah pada peresmian sebuah lembaga keuangan mikro baru-baru ini di Depok, seorang mantan bankir tampaknya tertarik dengan status saya yang disebut pengamat kewirausahaan. Beliau mendekat sambil berkata: “Pak, kami dari perbankan dan juga lembaga-lembaga keuangan mikro merasa sangat berkepentingan dengan wirausaha. Oleh sebab itu, kami sekarang ini sedang mengedepankan program-program yang membantu perkembangan Usaha Kecil dan Mikro (UKM) di Indonesia..”.
“Wah bagus sekali, Pak. Apa saja kriteria dalam menentukan UKM mana yang akan dibantu, dan mana yang tidak?” tanya saya.
Sang mantan bankir tertawa seraya mengatakan: “Mudah saja. Kita tinggal lihat gerai usahanya, ramai tidak? Lalu lihat pembukuan keuangannya, transaksi dan arus kasnya bagus tidak? Kalau gerainya ramai, dan laporan keuangannya bagus, berarti usahanya lancar dan berpotensi untuk sukses. Nah, yang begitulah yang akan kita bantu..”
“Lalu, kalau pengusaha kecil yang gerainya belum ramai, arus keuangannya masih tersendat-sendat, bagaimana?” tanya saya lagi.
“Yah, kalau yang begitu, ya belum bisa dibantu Pak. Kita tidak berani ambil risiko. Lebih baik kita tunggu sampai usahanya lancar..”
Mendengar jawaban ini, saya jadi tersenyum. “Di situlah letaknya perbedaan pandangan antara perbankan dan kewirausahaan, Pak. Dalam kacamata wirausaha, pengusaha yang sudah lancar bisnisnya, seharusnya tidak boleh dibantu..”
“Loh, sebab apa? “ tukas “pak bankir”.
“Sebab, tanpa dibantu pun dia sudah mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi dan dia bisa maju. Oleh karenya, bantuan yang diterima dari bank justru akan melemahkan daya juangnya sebagai wirausahawan tangguh”.
Tanpa bermaksud menggurui, saya lantas mengambil contoh kasus pangusaha-pengusaha bank kelas kakap penerima BLBI. Mereka itu sebenarnya tidak perlu dibantu, tapi pemerintah telah memanjakan mereka dengan berbagai fasilitas yang tidak seharusnya diberikan. Dan sekarang, kita lihat sendiri bagaimana dahsyat akibatnya yang hampir-hampir membangkrutkan negeri ini.
Pak bankir tampak sedikit terperangah, tapi melanjutkan argumentasinya: “Kalau bank atau lembaga keuangan harus membiayai pengusaha yang masih terseok, risikonya terlalu besar Pak. Sebab, apabila pengusaha itu tidak mampu membayar pinjamannya, bukankah semua pihak dirugikan? Dana hilang, sementara masih banyak pengusaha-pengusaha lain yang menunggu bantuan..”
“Bapak betul. Bank dan lembaga keuangan memang bukan bagian dari Departemen Sosial yang bertugas bagi-bagi uang tanpa berharap kembali. Bank hidup dari bunga pinjaman, atau kalau bank syariah mungkin dari bagi hasil. Itu semua adalah bisnis. Jadi kalau boleh, perkenankan saya untuk usul, bagaimana kalau istilah “bantuan” itu dihilangkan saja. Dilihat dari kedua belah pihak, rasanya tidak klop.”
“Dari sisi perbankan, business is business. Tidak ada yang gratis. Pinjam uang, harus bayar bunganya. Atau sisihkan bagi hasilnya. Jadi, sesungguhnya itu bukan bantuan..”, lanjut saya.
“Dari sisi kewirausahaan, pengusaha adalah leader. Tidak ada kata mengemis, dan tidak ada kata mohon belas kasihan bagi seorang leader. Pinjaman adalah bisnis, dan itu harus dibayar. Semua pelaku bisnis haruslah setara-sederajat. Tidak ada istilah “tangan di bawah” bagi pengusaha terhadap siapa pun, termasuk pada bank atau lembaga keuangan.”
Pembicaraan kami terputus di situ, karena acara pengguntingan pita dimulai.
Seselesainya acara peresmian kantor tersebut, dalam perjalanan pulang saya berfikir sendiri. Ya, kalau antara perbankan dan dunia wirausaha terdapat gap masalah pembiayaan, lantas apa jalan keluarnya?
Tiba-tiba saya teringat akan tulisan David Ch’ng tentang sukses kaum minoritas perantauan di Asia Tenggara, yang mengutarakan bahwa salah satu kunci sukses mengatasi masalah pembiayaan usaha adalah dengan jalan membentuk komunitas. Tepatnya, komunitas usaha.
Ya, dan itu pula yang telah dilakukan secara tradisional oleh saudara-saudara kita dari berbagai etnik di Indonesia dalam berbisnis, mulai dari komunitas orang Minang dengan Rumah Makan Padangnya, orang Tegal dengan Wartegnya, orang Bugis, orang Gorontalo, orang Banjar, orang Madura, orang Bali, orang Maluku, serta nyaris hampir semua suku di Indonesia dengan masing-masing komunitasnya. Dan mereka juga sukses!
Nah, temans.. Kita yang hidup di jaman modern ini, tentu lebih sadar dengan manfaat berkomunitas. Dengan cara itu kita berorganisasi, dengan cara yang sama pula kita berkelompok dalam milis-milis. Dengan kesadaran tentang potensi bisnis dalam sebuah komunitas, mengapa pula kita tidak mulai berfikir bagaimana mengeksplorasi sumber daya tersembunyi dari sebuah grup di internet, demi kesuksesan hidup di masa depan? Bukankah kita tidak mau sekadar “harmoko”, hari-hari omong kosong?
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Web: http://www.rusmanhakim.com, http://www.pempekpatrol.com
Mobile: 0816.144.2792
Ikuti Gacerindo.com pada Aplikasi GOOGLE NEWS : FOLLOW (Dapatkan Berita Terupdate tentang Dunia Pendidikan dan Hiburan). Klik tanda ☆ (bintang) pada aplikasi GOOGLE NEWS.