Daftar Isi: (toc)
Sifat dasar masyarakat Indonesia adalah egalitarian (kebersamaan) dan kegotong-royongan. Ini sebenarnya sifat kemasyarakatan yang baik sekali. Banyak terbukti serta diakui bahwa sifat kegotong-royongan yang menjelma dalam bentuk-bentuk “kerjasama”, “ko-operasi” (co-operation) serta “team-work”, jauh lebih efektif daripada sifat individualistis, apalagi yang terwujud dalam suatu iklim kompetitif yag tidak sehat.
Akan tetapi, seperti juga semua hal di dunia yang mengandung unsur-unsur positif sekaligus juga akan memiliki sisi negatifnya, maka sifat kegotong-royongan juga perlu dicermati ekses-eksesnya. Di Indonesia, ekses gotong-royong menyebabkan masyarakatnya menjadi sangat tergantung pada kebersamaan, sehingga bila salah satu pergi ke timur, yang lain akan berduyun-duyun pergi ke timur juga. Satu kelompok pergi ke barat, sisanya juga akan mengikuti pergi ke barat, demikian seterusnya. Konsekuensinya, figur pemimpin menjadi jarang muncul. Sekali ada seorang pemimpin mencuat ke permukaan, maka ia akan dikultuskan, disanjung bahkan seakan didewakan.
Fenomena seperti ini juga terjadi di dunia usaha. Bila bisnis sedang “in” di bidang properti, maka banyak sekali pengusaha akan beralih ke dunia properti. Jika ada yang sukses berbisnis di bidang eceran, ramai-ramai bikin bisnis eceran. Sehingga, kita menjadi rancu antara trend di dunia bisnis, dengan trend di dunia mode. Padahal keduanya sangat berbeda, bahkan berlawanan.
Seorang pemimpin bisnis tidak akan berperilaku demikian. Bila satu bidang usaha sudah diminati banyak kalangan, maka artinya bidang tersebut sudah terlalu sesak dijejali dengan faktor persaingan. Sudah tentu situasi seperti itu kurang menguntungkan. Maka pada umumnya seorang wirausahawan yang penuh kepemimpinan tidak ikut-ikutan menceburkan diri ke bidang yang sudah penuh sesak, melainkan mencari terobosan baru yang lebih orisinil.
Sekarang ini, kita tahu bahwa sebagian masyarakat yang bermental “latah”, sebagai produk dari sifat dasar yang “ekstra-gotong-royong”, terus menerus mendatangi sekaligus memadati kota-kota besar, untuk mencari nafkah. Alasannya klasik, karena di kota besar mencari uang mudah, sedangkan di desa terasa sulit sekali. Hal tersebut memang sangat khas dalam masyarakat kita sekarang ini yang berkecenderungan urbanisasi. Padahal, sejauh mana kebenaran alasan di atas, belum ada yang bisa betul-betul memastikannya.
Maka, peluang yang ada di kota-kota besar itu pun sudah cukup “penuh sesak” dengan persaingan, mengingat sudah begitu banyaknya manusia “menyerbu” kesana. Apalagi tidak semua dari persaingan itu termasuk persaingan sehat. Seyogyanyalah sekarang, sebagai calon wiraswastawan yang berkapasitas kepemimpinan, kita mencoba dan menjajaki peluang di tempat baru, yang masih cukup lowong untuk menciptakan karya-karya baru. Salah satu alternatif untuk itu adalah program transmigrasi. Kenapa ?
Logis saja. Amerika yang sekarang merupakan negara termakmur di dunia, dulunya adalah sebuah benua yang masih kosong dan liar. Tidak ada gedung-gedung tinggi, tidak ada kota-kota megapolitan, jalan-jalan mulus bebas hambatan atau sarana modern lainnya. Para pendatanglah yang merintis itu semua, sampai Amerika dikenal sebagai “negeri harapan”. Demikian pun halnya Australia yang sekarang begitu modern, dulu tidak lebih dari sebuah daratan pembuangan orang-orang hukuman. Semua berubah menjadi negeri yang kaya makmur, karena buah tangan para pionir yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan tinggi.(rh)
Ikuti Gacerindo.com pada Aplikasi GOOGLE NEWS : FOLLOW (Dapatkan Berita Terupdate tentang Dunia Pendidikan dan Hiburan). Klik tanda ☆ (bintang) pada aplikasi GOOGLE NEWS.