Tembok-tembok yang Membebaskan

Daftar Isi: (toc)

"Jika kami adalah bunga engkau adalah tembok itu, tapi di tubuh tembok itu, telah kami sebar biji-biji, suatu saat kami akan tumbuh bersama, dengan keyakinan engkau harus hancur!"

Tembok-tembok yang Membebaskan

Demikian penggalan sajak berjudul ”Bunga dan Tembok” bikinan Wiji Tukul. Wiji, yang entah di mana rimbanya kini, membuat sajak itu pada tahun 1983-1984 ketika pemerintah begitu bebal, susah diajak bicara layaknya tembok. Kini, melalui tembok yang menjadi simbol kebebalan, masyarakat bersuara.

Tembok-tembok bangunan di pusat hingga sudut-sudut kota kini mengalami perluasan fungsi. Tidak lagi berfungsi privat untuk membatasi kebebasan orang tetapi justru menyampaikan pesan-pesan yang membebaskan. Tembok-tembok kota kini juga berfungsi sosial.

Sekelompok orang menggoreskan kuas di tembok-tembok itu untuk menggambarkan suasana hati mereka bahkan menyampaikan harapan. Tidak sekadar berupa grafiti, yang berarti goresan atau tulisan-tulisan dengan cat semprot, tetapi juga lukisan mural.

Lukisan-lukisan mural itu—tidak seperti graffiti yang terkesan “mengotori” kota, justru menambah keindahan kota. Tidak hanya indah, bila diperhatikan dengan mendalam—tidak sekadar selintas lalu, mengandung pesan mandalam.

mural presiden anti koropsi

Mural, dalam bentuk paling sederhana, juga merupakan peninggalan dari leluhur kita. Para manusia prasejarah yang biasanya menggambar hewan, alat kerja, atau bentuk-bentuk abstrak di gua-gua di berbagai belahan dunia.

Dengan demikian, melukis mural seumpama kemampuan dasar manusia yang di bawah alam sadar kita mungkin diwariskan oleh keterampilan leluhur-leluhur kita. Para manusia prasejarah bahkan diduga sudah menggambar mural sejak 30.000 tahun sebelum Masehi.

Grafiti dan kemudian mural makin mengemuka setelah mengokupasi New York, Amerika Serikat pada tahun 1970-1990 lalu. Meski demikian, melalui foto-foto arsip lama kita mengetahui seniman-seniman revolusi di negeri ini juga menggoreskan kuas cat untuk mengobarkan semangat kemerdekaan pada dekade 1940-an.

Kini, ketika teknologi makin mengambil tempat, ketika media sosial makin merebut perhatian kita ternyata seni mural tidak berhenti atau menghilang. Tetap ada geliat dari seniman-seniman mural. Tembok-tembok kota menjadi sasaran dari aksi seni mereka.

Mural juga dengan jelas menjadi corong bagi suara hati rakyat. Ketika hukum tidak lagi menjadi panglima, ketika korupsi merajalela maka mural menjadi sarana untuk memuntahkan kekecewaan rakyat juga menyampaikan harapan.

Tahun 2009 lalu, terjadi kriminalisasi pimpinan KPK atau ketidakpuasan terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan. Rakyat pun membandingkannya dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih baik.

Ketika Komjen Susno Duadji melontarkan personafikasi, “cicak kok mau melawan buaya...” maka dinding-dinding kota langsung disesaki dengan kehadiran “lukisan” terkait pernyataan itu. Ada mural muncul dengan gambar pertarungan cicak melawan buaya dengan tulisan, “cicak beraksi, buaya mati”.

Ada mural lain yang menggambarkan jeritan hati generasi muda. Mural itu menampilkan wajah seorang anak gadis dengan tulisan, “Ayah Ibu, Janganlah Kau Nafkahi Aku dengan Uang Hasil Korupsi”.

Yang sering terlupa dari aksi korupsi adalah, citra diri dan masa depan dari anak-anak koruptor. Dapat saja, sang orangtua melenggangkan kaki dengan baju orange tetap dengan melambaikan tangan dan melempar senyum, tetapi tidak demikian dengan anak-anak mereka. Ada anak koruptor yang akhirnya terpaksa keluar dari sebuah kantor akibat tidak tahan dengan pergunjingan.

mural jokowi 404 not found

Korupsi jelas menjadi salah satu tema utama dalam seni mural di dinding-dinding di berbagai kota di Indonesia. Korupsi memang telah mewabah, dan menjadi musuh bersama meski tidak kunjung dapat ditaklukkan.

Ada sebuah mural yang mengarahkan khalayak untuk mendukung hukuman mati terhadap koruptor. Jenis hukuman mati yang ditawarkan bukan hukuman mati dengan tembakan senapan tetapi dengan pisau guillotine yang diperkenalkan pada masa Revolusi Perancis.

Sungguh menarik, ketika mural-mural juga dengan halus mengajarkan pentingnya pendidikan untuk mencegah korupsi sedari dini. Pelajaran antikorupsi jelas belum menjadi mata pelajaran di kurikulum kita.

Namun sebuah lukisan mural memperlihatkan anak sekolah dasar yang sedang diminta berlatih menulis di papan tulis. Anak itu tidak sekedar menulis, “Ini Ibu Budi”. Anak itu menulis, “I promise I'll learn not corruption”.



Dikutip dari Email Kompas.com
Find Out
Related Post

Ikuti Gacerindo.com pada Aplikasi GOOGLE NEWS : FOLLOW (Dapatkan Berita Terupdate tentang Dunia Pendidikan dan Hiburan). Klik tanda  (bintang) pada aplikasi GOOGLE NEWS.
Tags

Top Post Ad

Below Post Ad