Daftar Isi: (toc)
Seperti kisah seorang wanita yang anaknya telah mengenal gadget dan tak mampu menjauhkan diri dari teknologi tersebut di usianya yang masih sangat kecil. Penyesalan akan pengaruh gadget pun ia bagikan di media sosial sebagai pelajaran bagi para wanita lain yang telah memiliki anak dan merasa tenang ketika anak hidup bersama dengan barang tersebut
Berawal dari kebiasaan melihat sang kakak, anak keduanya yang bernama Shafraan tertarik untuk mencoba berbagai permainan yang ada di tablet, meski saat itu usianya masih 10 bulan. Kian hari, ketertarikannya kepada gadget tak dapat dihindarkan.
Seringkali sang anak tidur bersama dengan gadget di tangan. Lantaran merasa bahwa hal tersebut lumrah untuk seorang anak, wanita itu pun membiarkannya dan bahkan memfasilitasinya. Dalam benak wanita tersebut, gadget menjadi semacam solusi jitu untuk menangani anak lakilakinya yang terkadang marah atau menangis.
Dan memang terbukti ketika menangis lalu diberi gadget, shafraan langsung mendadak terdiam dan asyik bermain game. Dampak dari penggunaan gadget tersebut mulai terlihat ketika Shafraan memasuki umur 2 tahun dimana ia enggan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Tak hanya ketika berada dengan teman seumurannya, namun juga ketika bermain sendiri dengan mainan yang nyata. Suatu hari bahkan Shafraan hanya terdiam sambil memegang mobilmobilannya. Ia seakan kebingungan untuk menggunakan mainan nyata tersebut karena setiap harinya ia hanya menggunakan ibu jari untuk menggerakkan game yang ada di tablet atau gadget.
Tak hanya itu, Shafraan juga kekurangan dalam kosakata dimana anak seumurannya sudah mampu mengucapkan berbagai hal dengan variatif. Tentu saja hal ini membuat waswas wanita yang merupakan ibu dari Shafraan tersebut. ia pun kemudian mendatangi seorang dokter anak untuk melakukan konsultasi dan mengetahui apakah ada alergi atau hal lain yang membuat sang anak sulit untuk berkomunikasi.
Ternyata setelah ditelisik, hasilnya menunjukkan bahwa Shafraan kurang melakukan interaksi dengan orangtua ataupun anggota keluarga lainnya sehingga kosakata yang dimiliki sangatlah sedikit. Ia pun merasa menyesal dan berniat untuk membatasi penggunaan gadget untuk anaknya tersebut
Bukan tanpa hambatan, wanita itu justru mengalami berbagai perlakuan sang anak yang mengamuk, menangis, dan melemparkan setiap barang ke arahnya demi bisa mendapatkan gadgetnya kembali. Shafraan pun sangat rewel dan enggan untuk makan. Akhirnya sang ibu kewalahan menghadapi perilaku Shafraan selama 3 hari dan mengembalikan gadgetnya.
Benar saja, anaknya pun kembali tenang dan asyik sendiri dengan permainan di tabletnya. Beberapa hari kemudian, sang ibu lantas membawa anaknya melakukan imunisasi ke sebuah rumah sakit dan sekaligus meminta dokter memeriksa aspek motorik anaknya.
Ternyata Shafraan masih dianggap normal, hanya saja ia mengidap keterlambatan bicara atau Speech Delay. Bahkan keterlambatannya tersebut berjeda cukup jauh yakni 1 tahun dibandingkan dengan temanteman sebayanya. Dokter pun menganjurkan agar Shafraan mengikuti terapi untuk menstimulasi pembendaharaan kosakatanya.
Kini wanita itu semakin tersadar bahwa pemberian gadget dengan maksud untuk memenangkan sang anak hanya akan menjadi tumpukan masalah di kemudian hari. Ia pun merasa bersalah karena tidak ingin capek ataupun repot mengurus anaknya dan menyerahkan segala pendidikan serta kehidupan anaknya kepada sebuah gadget.