Daftar Isi: (toc)
- Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu mengomentari soal Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak pengujian ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diajukan Partai Ummat.
Said Didu menyinggung status Ketua MK yang merupakan calon ipar Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
“Keputusan calon ipar?” kata Said Didu melalui akun Twitter pribadinya pada Selasa, 29 Maret 2022.
Dilansir dari RMOL, penolakan pengujian ambang presidential threshold tersebut dibacakan Wakil Ketua MK, Aswanto dalam Sidang Putusan perkara Nomor 74/PUUVIII/2020 bertanggal 14 Januari 2021, di Ruang Sidang Pleno MK, Jalan MEdan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Maret 2022.
“Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-VIII/2020 tersebut di atas maka partai politik yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik yang sudah pernah menjadi peserta pemilihan umum sebelumnya,” jelas Aswanto.
Status Partai Ummat selaku pemohon gugatan yang merupakan partai baru yang belum terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dijadikan sebagai pertimbangan dalam putusan yang teregistrasi sebagai Putusan Nomor 11/PUU-XX/2022 tersebut.
“Mahkamah partai a quo belum dapat dinyatakan sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon dalam permohonan a quo,” kata Aswanto.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Konstitusi, maka Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
“Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan,” katanya.
Pada sidang pendahuluan yang lalu, Partai Ummat selaku pemohon mendalilkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah open legal policy dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
Menurut Pemohon, Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 merupakan delegasi yang mengamalkan hal-hal terkait dengan teknis, sementara ambang batas 20% bukan berbicara mengenai teknis dan malah menghambat terjadinya demokrasi yang fair dan kompetitif.
Sementara itu, mengenai pengusungan, hal tersebut seharusnya telah diatur secara limitatif dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, keberadaaan Pasal 222 UU Pemilu ini diyakini pemohon bukan merupakan open legal policy melainkan close legal policy.
Oleh sebab itu, Pemohon menilai bahwa seharusnya pasal a quo dibatalkan oleh MK. Sehingga, pada petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.[Terkini]
Ikuti Gacerindo.com pada Aplikasi GOOGLE NEWS : FOLLOW (Dapatkan Berita Terupdate tentang Dunia Pendidikan dan Hiburan). Klik tanda ☆ (bintang) pada aplikasi GOOGLE NEWS.